PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Otonomi daerah
adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari
pengertian tersebut di atas maka akan tampak bahwa daerah diberi hak otonom
oleh pemerintah pusat untuk mengatur dan mengurus kepentingan sendiri.
Implementasi otonomi
daerah telah memasuki era baru setelah pemerintah dan DPR sepakat untuk
mengesahkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Kedua UU otonomi daerah ini merupakan revisi terhadap UU Nomor 22 dan Nomor 25
Tahun 1999 sehingga kedua UU tersebut kini tidak berlaku lagi.
Sejalan dengan diberlakukannya
undang-undang otonomi tersebut memberikan kewenangan penyelenggaraan pemerintah
daerah yang lebih luas, nyata dan bertanggung jawab. Adanya perimbangan tugas
fungsi dan peran antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah tersebut menyebabkan
masing-masing daerah harus memiliki penghasilan yang cukup, daerah harus
memiliki sumber pembiayaan yang memadai untuk memikul tanggung jawab
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dengan demikian diharapkan masing-masing
daerah akan dapat lebih maju, mandiri, sejahtera dan kompetitif di dalam
pelaksanaan pemerintahan maupun pembangunan daerahnya masing-masing.
Memang harapan dan kenyataan tidak
lah akan selalu sejalan. Tujuan atau
harapan tentu akan berakhir baik bila pelaksanaan dan pengawasan terhadap
pelaksanaan juga berjalan baik. Namun ketidaktercapaian harapan itu nampak nya
mulai terlihat dalam otonomi daerah yang ada di Indonesia. Masih banyak
permasalahan yang mengiringi berjalannya otonomi daerah di Indonesia.
Permasalahan-permasalahan itu tentu harus dicari penyelesaiannya agar tujuan
awal dari otonomi daerah dapat tercapai.
1.2. Rumusan Masalah
Dalam penyusunan ini penulisan
memberikan batasan-batasan masalah, meliputi :
- Eksploitasi Pendapatan Daerah
- Pemahaman terhadap konsep desentralisasi dan otonomi
daerah yang belum mantap - Penyediaan aturan pelaksanaan otonomi daerah yang belum
memadai
- Kondisi SDM aparatur pemerintahan yang belum menunjang
sepenuhnya pelaksanaan otonomi daerah
- Korupsi di Daerah
- Potensi munculnya konflik antar daerah
1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini di bagi menjadi
2 yaitu, tujuan umum dan khusus:
1.3.1 Tujuan Umum
1. Mengetahui permasalahan
dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia
2. Meneliti penyelesaian dari
permasalahan yang ada
1.3.2 Tujuan Khusus
Menyelesaikan tugas mata kuliah
Kewarganegaraan tentang Permasalahan Dalam Otonomi Daerah
1.4. Manfaat Penulisan
1. Sebagai bahan pelajaran bagi
mahasiswa.
2. Sebagai wacana awal bagi
penyusunan karya tulis selanjutnya.
3. Sebagai literature untuk lebih
memahami otonomi daerah di Indonesia.
1.5. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan Karya Tulis ini,
sistematika penulisan yang digunakan adalah :
BAB I PENDAHULUAN
Berisi tentang : Latar belakang,
rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, dan sistematika
penulisan.
BAB II PEMBAHASAN
Berisi tentang : Pembahasan mengenai
permasalahan dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia.
BAB III PENUTUP
Berisi tentang : kesimpulan dan
saran.
1.6. Metodologi Penelitian
Dalam penulisan Karya Tulis ini,
metodologi penelitian yang digunakan adalah :
•
Studi pustaka yaitu dengan mencari referensi dari buku-buku yang berkaitan
dengan penulisan karya tulis ini
•
Penjelajahan internet yaitu dengan mencari beberapa informasi di mesin pencari
yang tidak penulis tidak dapatkan dari buku-buku
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Otonomi
Daerah
Otonomi Daerah
adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi
dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. dengan adanya
desentralisasi maka muncullan otonomi bagi suatu pemerintahan daerah.
Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang secara
sederhana di definisikan sebagai penyerahan kewenangan. Dalam kaitannya dengan
sistem pemerintahan Indonesia, desentralisasi akhir-akhir ini seringkali
dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena dengan adanya desentralisasi
sekarang menyebabkan perubahan paradigma pemerintahan di Indonesia. Desentralisasi juga dapat
diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab, kewenangan, dan sumber-sumber daya
(dana, manusia dll) dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Dasar pemikiran
yang melatarbelakanginya adalah keinginan untuk memindahkan pengambilan
keputusan untuk lebih dekat dengan mereka yang merasakan langsung pengaruh
program dan pelayanan yang dirancang dan dilaksanakan oleh pemerintah. Hal ini
akan meningkatkan relevansi antara pelayanan umum dengan kebutuhan dan kondisi
masyarakat lokal, sekaligus tetap mengejar tujuan yang ingin dicapai oleh
pemerintah ditingkat daerah dan nasional, dari segi sosial dan ekonomi.
Inisiatif peningkatan perencanaan, pelaksanaan, dan keuangan pembangunan sosial
ekonomi diharapkan dapat menjamin digunakannya sumber-sumber daya pemerintah
secara efektif dan efisien untuk memenuhi kebutuhan lokal.
2.2
Permasalahan Dalam Otonomi Daerah Di Indonesia
Sejak diberlakukannya paket UU
mengenai Otonomi Daerah, banyak orang sering membicarakan aspek positifnya.
Memang tidak disangkal lagi, bahwa otonomi daerah membawa perubahan positif di
daerah dalam hal kewenangan daerah untuk mengatur diri sendiri. Kewenangan ini
menjadi sebuah impian karena sistem
pemerintahan yang sentralistik cenderung menempatkan daerah sebagai pelaku
pembangunan yang tidak begitu penting atau pinggiran. Pada masa lalu,
pengerukan potensi daerah ke pusat terus dilakukan dengan dalih pemerataan
pembangunan. Alih-alih mendapatkan manfaat dari pembangunan, daerah justru
mengalami proses pemiskinan yang luar biasa. Dengan kewenangan tersebut
tampaknya banyak daerah yang optimis bakal bisa mengubah keadaan yang tidak
menguntungkan tersebut.
Akan tetapi apakah di tengah-tengah
optimisme itu tidak terbersit kekhawatiran bahwa otonomi daerah juga akan
menimbulkan beberapa persoalan yang, jika tidak segera dicari pemecahannya,
akan menyulitkan upaya daerah untuk memajukan rakyatnya? Jika jawabannya tidak,
tentu akan sangat naif. Mengapa? Karena, tanpa disadari, beberapa dampak
yang tidak menguntungkan bagi pelaksanaan otonomi daerah telah terjadi. Ada
beberapa permasalahan yang dikhawatirkan bila dibiarkan berkepanjangan akan
berdampak sangat buruk pada susunan ketatanegaraan Indonesia.
Masalah-masalah tersebut antara lain :
- 1. Adanya eksploitasi Pendapatan Daerah
- Pemahaman terhadap konsep desentralisasi dan otonomi
daerah yang belum mantap
- Penyediaan aturan pelaksanaan otonomi daerah yang belum
memadai
- Kondisi SDM aparatur pemerintahan yang belum menunjang
sepenuhnyapelaksanaan otonomi daerah
- 5. Korupsi di Daerah
- 6. Adanya potensi
munculnya konflik antar daerah
Permasalahan tersebut dibahas lebih
lanjut sebagai berikut :
2.2.1 Adanya eksploitasi Pendapatan
Daerah
Salah satu konsekuensi otonomi
adalah kewenangan daerah yang lebih besar dalam pengelolaan keuangannya, mulai
dari proses pengumpulan pendapatan sampai pada alokasi pemanfaatan pendapatan
daerah tersebut. Dalam kewenangan semacam ini sebenarnya sudah muncul inherent
risk, risiko bawaan, bahwa daerah akan melakukan upaya maksimalisasi, bukan
optimalisasi, perolehan pendapatan daerah. Upaya ini didorong oleh kenyataan bahwa
daerah harus mempunyai dana yang cukup untuk melakukan kegiatan, baik itu rutin
maupun pembangunan. Daerah harus membayar seluruh gaji seluruh pegawai daerah,
pegawai pusat yang statusnya dialihkan menjadi pegawai daerah, dan anggota
legislatif daerah. Di samping itu daerah juga dituntut untuk tetap
menyelenggarakan jasa-jasa publik dan kegiatan pembangunan yang membutuhkan
biaya yang tidak sedikit.
Dengan skenario semacam ini, banyak
daerah akan terjebak dalam pola tradisional dalam pemerolehan pendapatan
daerah, yaitu mengintensifkan pemungutan pajak dan retribusi. Bagi pemerintah
daerah pola ini tentu akan sangat gampang diterapkan karena kekuatan koersif
yang dimiliki oleh institusi pemerintahan; sebuah kekuatan yang tidak applicable
dalam negara demokratis modern. Pola peninggalan kolonial ini menjadi
sebuah pilihan utama karena ketidakmampuan pemerintah dalam mengembangkan sifat
wirausaha (enterpreneurship).
Apakah upaya intensifikasi pajak dan
retribusi di daerah itu salah? Tentu tidak. Akan tetapi yang jadi persoalan
sekarang adalah bahwa banyak pemerintah daerah yang terlalu intensif memungut
pajak dan retribusi dari rakyatnya. Pemerintah daerah telah kebablasan dalam
meminta sumbangan dari rakyat. Buktinya adalah jika menghitung berapa item pajak
dan retribusi yang harus dibayar selaku warga daerah. Jika diteliti, jumlahnya
akan mencapai ratusan item.
Beberapa bulan lalu berkembang
sinisme di kalangan warga DKI Jakarta, bahwa setiap aktivitas yang mereka
lakukan telah menjadi objek pungutan Pemda DKI, sampai-sampai buang hajat pun
harus membayar retribusi. Pemda Provinsi Lampung juga bisa menjadi contoh unik
ketika menerbitkan perda tentang pungutan terhadap label sebuah produk. Logika
yang dipakai adalah bahwa label tersebut termasuk jenis papan reklame berjalan.
Hal ini terlihat lucu. Karena tampaknya Pemerintah setempat tidak bisa
membedakan mana reklame, sebagai bentuk iklan, dan mana label produk yang
berfungsi sebagai identifikasi nama dan spesifikasi sebuah produk. Kedua, jika
perda tersebut diberlakukan (sepertinya kurang meyakinkan apakah perda tersebut
jadi diberlakukan atau tidak), akan timbul kesulitan besar dalam penghitungan
dan pemungutan retribusi.
Dengan dua contoh tersebut, penulis
ingin mengatakan bahwa upaya pemerintah daerah dalam menggali pendapatan daerah
di era otonomi ini telah melampaui batas-batas akal sehat. Di satu pihak
sebagai warga negara kita harus ikut berpartisipasi dalam proses kebijakan
publik dengan menyumbangkan sebagian kemampuan ekonomi yang kita miliki melalui
pajak dan retribusi. Akan tetapi, apakah setiap upaya pemerintah daerah dalam
memungut pendapatan dari rakyatnya hanya berdasarkan justifikasi semacam itu?
Tidak adakah ukuran kepantasan, sejauh mana pemerintah daerah dapat meminta
sumbangan dari rakyatnya?
Bila dikaji secara matang,
instensifikasi perolehan pendapatan yang cenderung eksploitatif semacam itu
justru akan banyak mendatangkan persoalan baru dalam jangka panjang, dari pada
manfaat ekonomis jangka pendek, bagi daerah. Persoalan pertama adalah beratnya
beban yang harus ditanggung warga masyarakat. Meskipun satu item pajak atau
retribusi yang dipungut dari rakyat hanya berkisar seratus rupiah, akan tetapi
jika dihitung secara agregat jumlah uang yang harus dikeluarkan rakyat perbulan
tidaklah kecil, terutama jika pembayar pajak atau retribusi adalah orang yang
tidak mempunyai penghasilan memadai. Persoalan kedua terletak pada adanya
kontradiksi dengan upaya pemerintah daerah dalam menggerakkan perekonomian di
daerah. Bukankah secara empiris tidak terbantahkan lagi bahwa banyaknya
pungutan hanya akan menambah biaya ekonomi yang ujung-ujungnya hanya akan
merugikan perkembangan ekonomi daerah setempat. Kalau pemerintah daerah ingin
menarik minat investor sebanyak-banyaknya, mengapa pada saat yang sama justru
mengurangi minat investor untuk berinvestasi ?
2.2.2
Pemahaman terhadap konsep desentralisasi dan otonomi daerah yang belum
mantap
Desentralisasi adalah
sebuah mekanisme penyelenggaraan pemerintahan yang menyangkut pola hubungan
antara pemerintah nasional dan pemerintah lokal. Tujuan otonomi daearah membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban
yang tidak perlu dalam menangani urusan domestik, sehingga pemerintah pusat
berkesempatan mempelajari, memahami dan merespon berbagai kecenderungan global
dan mengambil manfaat dari padanya.Pemerintah hanya berkonsentrasi pada
perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat strategis.
Desentralisasi diperlukan dalam
rangka peningkatan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan.
Sebagai wahana pendidikan politik di daerah. Untuk memelihara keutuhan negara
kesatuan atau integrasi nasional. Untuk mewujudkan demokrasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan yang dimulai dari daerah. Untuk memberikan peluang
kepada masyarakat utntuk membentuk karir dalam bidang politik dan pemerintahan.
Sebagai sarana bagi percepatan pembangunan di daerah. Untuk mewujudkan
pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Oleh karena itu pemahaman terhadap
konsep desentralisasi dan otonomi haruslah mantap.
Elemen utama dari desentralisasi
adalah:
- Undang-undang No. 22 Tahun 1999 yang kemudian diubah
menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur
wewenang serta tanggung jawab politik dan administratif pemerintah pusat,
provinsi, kota, dan kabupaten dalam struktur yang terdesentralisasi.
- Undang-undang No. 25 Tahun 1999 yang kemudian diubah
menjadi UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan dasar hukum bagi
desentralisasi fiskal dengan menetapkan aturan baru tentang pembagian
sumber-sumber pendapatan dan transfer antarpemerintah.
Undang-undang di atas mencakup semua
aspek utama dalam desentralisasi fiskal dan administrasi. Berdasarkan kedua
undang-undang ini, sejumlah besar fungsi-fungsi pemerintahan dialihkan dari
pusat ke daerah sejak awal 2001 – dalam banyak hal melewati provinsi.
Berdasarkan undang-undang ini, semua fungsi pelayanan publik kecuali
pertahanan, urusan luar negeri, kebijakan moneter dan fiskal, urusan
perdagangan dan hukum, telah dialihkan ke daerah otonom. Kota dan kabupaten
memikul tanggung jawab di hampir semua bidang pelayanan publik seperti
kesehatan, pendidikan, dan prasarana; dengan provinsi bertindak sebagai
koordinator. Jika ada tugas-tugas lain yang tidak disebut dalam undang-undang,
hal itu berada dalam tanggung jawab pemerintah daerah.
Pergeseran konstitusional ini
diiringi oleh pengalihan ribuan kantor wilayah (perangkat pusat) dengan sekitar
dua juta karyawan, pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung mulai
tahun 2005. Lebih penting lagi, Dana Alokasi Umum atau DAU yang berupa block
grant menjadi mekanisme utama dalam transfer fiskal ke pemerintah daerah,
menandai berakhirnya pengendalian pusat terhadap anggaran dan pengambilan
keputusan keuangan daerah. DAU ditentukan berdasarkan suatu formula yang
ditujukan untuk memeratakan kapasitas fiskal pemerintah daerah guna memenuhi
kebutuhan pengeluarannya. Pemerintah Pusat juga akan berbagi penerimaan dari
sumber daya alam — gas dari daratan (onshore), minyak dari daratan, kehutanan
dan perikanan, dan sumber-sumber lain dengan pemerintah daerah otonom.
Kedua undang-undang baru ini serta
perubahan-perubahan yang menyertainya mencerminkan realitas politik bahwa warga
negara Indonesia kebanyakan menghendaki peran yang lebih besar dalam mengelola
urusan sendiri. Meskipun demikian, tata pemerintahan lokal yang baik pada saat
ini belum dapat dilaksanakan di Indonesia, meskipun sistem desentralisasi telah
dilaksanakan. Periode yang tengah dialami oleh Indonesia pasca dikeluarkannya
UU No. 22/ 1999 yaitu periode transisi atau masa peralihan sistem. Artinya,
secara formal sistem telah berubah dari sentralistik menjadi desentralisasi.
Tetapi, mentalitas dari aparat pemerintah baik pusat maupun daerah masih belum
mengalami perubahan yang mendasar. Hal ini terjadi karena perubahan sistem
tidak dibarengi penguatan kualitas sumber daya manusia yang menunjang sistem
pemerintahan yang baru. Pelayanan publik yang diharapkan, yaitu birokrasi yang
sepenuhnya mendedikasikan diri untuk untuk memenuhi kebutuhan rakyat “sebagai
pengguna jasa” adalah pelayanan publik yang ideal. Untuk merealisasikan bentuk
pelayanan publik yang sesuai dengan asas desentralisasi diperlukan perubahan
paradigma secara radikal dari aparat birokrasi sebagai unsur utama dalam
pencapaian tata pemerintahan lokal.
2.2.3 Penyediaan
aturan pelaksanaan otonomi daerah yang belum memadai
Bermula dari Ketetapan MPR-RI Nomor
XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan
Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dilanjutkan dengan 7 Mei 1999, lahir
UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya UU No. 25/1999 yang
mengatur hubungan keuangan pusat dan daerah, menggantikan UU No. 5/1974 yang
sentralistik.
Kedua undang-undang ini mengatur
wewenang otonomi yang diberikan luas kepada pemerintah tingkat kabupaten dan
kota. Bupati dan walikota pun dinyatakan bukan lagi sebagai aparat pemerintah
yang hierarkis di bawah gubernur. Jabatan tertinggi di kabupaten dan kota itu
merupakan satu-satunya kepala daerah di tingkat lokal, tanpa bergantung pada
gubernur.
Setiap bupati dan walikota memiliki
kewenangan penuh untuk mengelola daerah kekuasaannya. Keleluasaan atas
kekuasaan yang diberikan kepada bupati/walikota dibarengi dengan mekanisme
kontrol (checks and balances) yang memadai antara eksekutif dan
legislatif.
Parlemen di daerah tumbuh menjadi
sebuah kekuatan politik riil yang baru. Lembaga legislatif ini secara merdeka
dapat melakukan sendiri pemilihan gubernur dan bupati/walikota tanpa intervensi
kepentingan dan pengaruh politik pemerintah pusat. Kebijakan di daerah juga
dapat ditentukan sendiri di tingkat daerah atas kesepakatan pemerintah daerah
dan dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD). Undang-undang yang baru juga
mengatur bahwa setiap peraturan daerah dapat langsung dinyatakan berlaku
setelah disepakati sejauh tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang
lebih tinggi tingkatannya. Hal ini kontras berbeda dengan ketentuan sebelumnya
yang mensyaratkan adanya persetujuan dari penguasa pemerintahan yang lebih
tinggi bagi setiap perda yang akan diberlakukan.
UU No 22/1999 dan UU No 25/1999 juga
memberikan kerangka yang cukup ideal bagi terwujudnya keadaan politik lokal
yang dinamis dan demokratis di setiap daerah. Namun, praktik-praktik politik
yang menyusul setelah itu masih belum sepenuhnya memperlihatkan adanya otonomi
yang demokratis. Setidaknya terdapat dua penyebab utama mengapa hal ini bisa
terjadi.
Pertama, pemerintah pusat rupanya
tak kunjung serius memberikan hak otonomi kepada pemerintahan di daerah.
Ketidakseriusannya dapat dilihat dari pembiaran pemerintah pusat terhadap
berbagai peraturan perundang-undangan lama yang tidak lagi sesuai dengan UU
otonomi yang baru. Padahal, ada ratusan Peraturan Pemerintah, Keputusan
Presiden dan berbagai peraturan lainnya yang harus disesuaikan dengan kerangka
otonomi daerah yang baru. Ketiadaan aturan pelaksanaan baru yang mendukung
otonomi daerah yang demokratis menjadikan kedua UU menyangkut otonomi daerah
itu mandul dan tak efektif. Sementara di tingkat daerah, ketiadaannya telah
melahirkan kebingungan.
Kedua, desentralisasi telah
menggelembungkan semangat yang tak terkendali di kalangan sebagian elit di
daerah sehingga memunculkan sentimen kedaerahan yang amat kuat. Istilah “putra
daerah” mengemuka di mana-mana mewakili sentimen kedaerahan yang terwujud
melalui semacam keharusan bahwa kursi puncak pemerintahan di daerah haruslah
diduduki oleh tokoh-tokoh asli dari daerah bersangkutan. Hal ini tentu saja
bukan sesuatu yang diinginkan apalagi menjadi tujuan pelaksanaan otonomi
daerah. Bagaimanapun, fenomena “putra daerah” itu begitu meruak di berbagai
daerah.
Hubungan pusat dan daerah juga masih
menyimpan ancaman sekaligus harapan. Menjadi sebuah ancaman karena berbagai
tuntutan yang mengarah kepada disintegrasi bangsa semakin besar. Bermula dari
kemerdekaan Timor Timur (atau Timor Leste) pada tanggal 30 Agustus 1999 melalui
referendum. Berbagai gelombang tuntutan disintegrasi juga terjadi di beberapa
daerah seperti di Aceh, Papua, Riau dan Kalimantan. Meskipun ada sejumlah
kalangan yang menganggap bahwa kemerdekaan Timor Timur sudah seharusnya
diberikan karena perbedaan sejarah dengan bangsa Indonesia dan merupakan
aneksasi rezim Orde Baru, tetapi efek domino yang timbulkannya masih sangat
dirasakan, bahkan dalam MoU Helsinki yang menghasilkan UU Pemerintahan
Aceh.Gejolak terus berlanjut hingga, Aceh dan Papua akhirnya diberi otonomi
khusus.
Menjadi harapan, karena Amandemen
kedua konstitusi, telah mengubah wajah Pemerintahan Daerah menjadi lebih
demokratis dan lebih bertanggung jawab. Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 (redaksi
baru), Perubahan Kedua, berbunyi, “Pemerintahan Daerah menjalankan otonomi
seluas-luasnya, kecuali urusan pemreintahan yang oleh undang-undang ditentukan
sebagai urusan Pemerintah Pusat“. Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 tidak dapat
dibaca secara terpisah dengan Pasal 18 ayat (1) dan (5) UUD 1945 (redaksi
baru).
Dalam pemhaman ini, M. Laica Marzuki
mengatakan, bentuk negara (de staatsvorm) RI secara utuh harus dibaca
-dan dipahami- dalam makna: Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang
berbentuk Republik, yang disusun berdasarkan desentralisatie, dijalankan
atas dasar otonomi yang seluas-luasnya, menurut Pasal 1 ayat (1) UUD 1945
(redaksi baru) juncto Pasal 18 ayat (1) dan (5) UUD 1945 (redaksi baru).
Lima tahun berlangsung, UU No.
22/1999 dan UU No. 25/1999 dipandang perlu direvisi, hingga lahirlah UU No.
32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33/2004 tentang Perimbangan
Keuangan menggantikan UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 tersebut.
Pasal 1 angka 7 UU Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah merumuskan desentralisasi adalah penyerahan
wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut adalah Pemerintah Pusat,
dalam hal ini Presiden RI yang memegang kekuasaan pemerintahan negara RI,
menurut UUD 1945 (Pasal 1 angka 1 UU Nomor 32 Tahun 2004).
Penyerahan wewenang pemerintahan
oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom bermakna peralihan kewenangan secara
delegasi, lazim disebut delegation of authority.
Tatkala terjadi penyerahan wewenang
secara delegasi, pemberi delegasi kehilangan kewenangan itu, semua beralih
kepada penerima delegasi. Dalam hal pelimpahan wewenang secara mandatum,
pemberi mandat atau mandator tidak kehilangan kewenangan dimaksud. Mandataris
bertindak untuk dan atas nama mandator.
Dengan demikian, dalam hal
penyerahan kewenangan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom
secara delegasi, untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan memberikan
konsekuensi bahwasanya pemerintah pusat kehilangan kewenangan dimaksud. Semua
beralih kepada daerah otonom, artinya menjadi tanggungjawab pemerintahan
daerah, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang dinyatakan sebagai
urusan pemerintah pusat. Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menetapkan,
bahwasanya urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah pusat meliputi a.
politik luar negeri, b. pertahanan, c. keamanan, d. yustisi, e. moneter dan
fiskal, f. agama.
Pusat tidak boleh mengurangi,
apalagi menegasikan kewenangan pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah
otonom. Namun demikian, daerah otonom-daerah otonom tidak boleh melepaskan diri
dari Negara Kesatuan RI. Betapa pun luasnya cakupan otonomi, desentralisasi
yang mengemban pemerintahan daerah tidaklah boleh meretak-retakkan bingkai
Negara Kesatuan RI.
Secara formal normatif, arah
desentralisasi sudah cukup baik. Namun, dalam tataran empiris komitmen
pemerintah pusat tidak konsisten. Praktek-praktek monopoli dan penguasaan
urusan-urusan strategis yang menyangkut pemanfaatan sumber daya alam termasuk
perizinan di daerah, dikuasai pusat.
Intervensi pusat pada daerah begitu
besar. Penyerahan urusan/wewenangan yang semestinya dilakukan dengan
penyerahaan sumber keuangan tidak dilakukan. Pusat melakukan penganggaran
pembangunan daerah tanpa melibatkan DPRD sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah. Pembiayaan fungsi-fungsi pemerintahan di daerah lebih
dominan berasal dari APBN, yang semestinya diserahkan sebagai dana perimbangan
untuk APBD.
UU No. 32 Tahun 2004 ini sempat
mengalami perubahan berdasarkan UU No. 8 tahun 2005 dan UU No. 12 tahun 2008.
Tahun 2007, kemudian dikeluarkan PP
No. 38 tahun 2007 tentang pembagian urusan. Walau telah dibagi-bagi kewenangan
pusat dan daerah, namun PP ini dipandang telah menegasikan kewenangan daerah.
Revisi lebih komprehensif kemudian diwacanakan kembali pada UU No. 32/2004
untuk lebih menterjemahkan lebih kongkrit kewenangan pusat dan daerah.
2.2.4 Kondisi SDM aparatur
pemerintahan yang belum menunjang sepenuhnya pelaksanaan otonomi daerah
Sejak diberlakukannya otonomi
daerah. Sebagian pemerintah daerah bisa melaksanakan amanat konstitusi
meningkatkan taraf hidup rakyat, menyejahterakan rakyat, dan mencerdaskan
rakyat. Berdasarkan data yang ada 20 % pemerintah daerah mampu menyelenggarakan
otonomi daerah dan berbuah kesejahteraan rakyat di daerah. Namun masih 80 %
pemerintah daerah dinilai belum berhasil menjalankan visi, misi dan program
desentralisasi.
Penyelenggaraan otonomi daerah yang
sehat dapat di wujudkan pertama-tama dan terutama di tentukan oleh kapasitas
yang di miliki manusia sebagai pelaksananya. Penyeenggaraan otonomi daerah
hanya dapat berjalan dengan sebaik-baiknya apabil manusia pelaksananya
baik,dalam arti mentalitas maupun kapasitasnya.
Pentingnya posisi manusia pelakana
ini karena manusia merupakan unsur dinamis dalam organisasi yang
bertindak/berfungsi sebagai subjek penggerak roda organisasi pemerintahan. Oleh
sebap itu kualitas mentalitas dan kapasitas manusia yang kurang memadai dengan
sendirinya melahirkan impikasi yang kurang menguntungkan bagi penyelenggaraan
otonomi daerah. Anusia pelaksana pemerintah daerah dapat di kelompokkan
menjadi:
- Pemerintah daerah yang terdiri dari kepala daerah dan
dewan perwakilan daerah (DPRD).
- Alat-alat perlengkapan daerah yakni aparatur daerah dan
pegawai daerah
- Rakyat daerah yakni sebagai komponen environmental
(lingkungan)yang merupakan sumber energi terpenting bagi daerah sebagai
organisasi yang bersifat terbuka.
2.2.4.1.
Kepala daerah dan DPRD
Dalam negara kesatuan republik
indonesia tugas kepla daerah di samping sebagai kepala daerah juga merupakan
alat pemerintah pusat yang menjalani tugas yang sangat berat. Oleh sebap itu
kualifikasi yang di tuntut seorang kepala daerah seharusnya juga memadai dalam
pengertian harus sebanding dengan beban tugas ing dengan beban tugas yang ada
di pundaknya.
Dalam kenyataan syarat syarat yang
di tentukan bagi seorang kepala daerah belum cukup menjamin tuntutan kualitas
yang ada. Di mana yang berkaitan dengan kapasitas (pengetahuan dan kecakapan)
hanya tiga syarat yang di penuhi masing-masing;cerdas,berkemampuan,dan
keterampilan;mempunyai kecakapan dan pengelaman kerja yang cukup di bidang
pemerintahan;berpengetahuan yang sederajat degan perguruan tinggi atau sekurang
kurangnya di persamakan dengan sarjana muda.
Demikian pula halnya dengan
mentalitas tidak terdapat ukuran-ukuran yang dapat di pergunakan sebagai tolok
ukur objektif,sehinggga terdapat cukup banyak kesulitan dalam penilaian padahal
peranan mental ini sangat penting dalam penyelenggaraan otonomi daerah.
Kepala daerah yang didominasi oleh
pertimbangan akseptabilitas (walaupun kadang kala tidak objektif) dari pada
kualitas dan kapabilitas seseorang calon KDH.
Kepala daerah yang banyak
mengorbankan uang, lebih berorientasi kepada proyek pribadi, yaitu untuk
memperoleh keuntungan secara finansial dan material.
Kepala daerah cenderung membentuk
kelompok-kelompok ditengah-tengah birokrasi, sehingga terdapat perlakuan yang
diskriminatif dikalangan birokrasi.
Kepala daerah ada yang tidak
konsisten terhadap visi dan misi daerah (walaupun disampaikan pada saat menjadi
calon), karena menganggap visi dan misi yang disampaikan hanya untuk
kepentingan sesaat.
Kepala daerah yang lebih
berorientasi untuk mempertahankan kekuasaan walaupun dengan cara dan
kebijaksanaan yang tidak memenuhi kaidah moral dan etika bahkan menyimpang dari
peraturan dan perundangan.
Hal yang dikemukakan diatas
merupakan kondisi dan gejala umum, walaupun ada yang berbuat,
berprilaku dan membuat kebijakan sesuai dengan ketentuan serta tujuan dari
otonomi daerah tersebut, namun jumlahnya tidak seberapa. Untuk itu perlu adanya
perubahan sistemik dengan cara sbb:
Untuk menjadi calon kepala daerah
perlu diperhatikan kapabilitasnya, tidak hanya akseptabilitasnya saja, oleh
karena seorang kepala daerah tidak hanya pemimpin politik, tetapi juga pimpinan
pemerintah yang didalamnya terdapat ilmu, seni, dan teknis pemerintahan.
Dalam era globalisasi, penyelenggaraan
pemerintahan (pelaksanaan otonomi daerah) itu tidak terlepas dari kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu seorang calon kepala daerah harus
memiliki basis ilmu yang sesuai dengan tingkat kecerdasan masyarakat dan
lingkungan.
Untuk Wakil kepala daerah sebaiknya
tidak harus dari orang-orang partai politik, tetapi lebih diutamakan yang
berpengalaman di birokrasi pemerintahan, sehingga wakil kepala daerah lebih
terfokus membantu kepala daerah dalam hal-hal teknis pemerintahan.
Perlu standar yang jelas tentang
biaya untuk keikut sertaan dalam pemilihan kepala daerah, sungguhpun sulit
diimplementasikan tetapi sudah ada suatu ukuran atau pedoman.
Kepala daerah dihindarkan dari
intervensi terhadap hal-hal yang bersifat sangat teknis seperti administrasi
keuangan, administrasi kepegawaian maupun administrasi proyek-proyek
pembangunan. Yang dilakukan kepala daerah adalah menyusun dan menetapkan
kebijakan umum, mengawasi pelaksanaan kebijakan tersebut serta memberikan
motivasi dan pembinaan.
Dalam menjalankan kepemimpinannya,
kepala daerah harus memiliki kekuasaan, sebagai mana dikemukakan oleh Prof Dr J
Kaloh: Kekuasaan paksaan (esencive power), kekuasaan resmi (legitimate power),
kekuasaan keteladanan (referent power) dan kekuasaan keahlian (exper power).
Seperti halnya kepala daerah,DPRDpun
memiliki beban tugas yang tidak ringan,karena tugas pokoknya adalah
bersama-sama kepala daerah menetapkan kebijakan daerah baik yang berupa
peraturan-peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah(APBD). Di
samping itu DPRD ujga menjalankan fungsi pengawasan atas pelakanaan kebijakan
daerah oleh kepala daerah. Dengan tugas dan fungsi semacam ini DPRD di tuntut
untuk memiliki kualitas yang memadai
Dalam kenyataannya pendidikan dan
pengelaman yang di miliki oleh DPRD masih di bawah rata-rata dan masih sangat
terbatas .rata- rata DPRD tidak di bekali dengan pendidikan dan pengelaman yang
cukup di bidang pemerintahan. Hal ini akan sangat berpengaruh dalam
penyelenggaraan otonomi daerah
Berdasarkan data tentang terjadinya
tidak pidana korupsi di daerah sebagai contoh dari 35 daerah otonom kabupaten
dan kota di Jawa Tengah. Selama 2011 kasus korupsi yang ditangani Polda Jateng
tercatat 78 kasus dengan 86 tersangka. Polda mengklaim telah menyelamatkan
kerugian negara sebanyak Rp 34.612.637.000. Jumlah tersebut naik sekitar 143
persen dari tahun 2010 yang berjumlah 32 kasus. Jumlah tersangka pada tahun
lalu pun kalah jauh yang hanya berjumlah 31 orang dengan kerugian negara Rp.
23.693.274.000 (Suara Merdeka, 13/12/2011).
Sepanjang 2004-2011 Kementerian
Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat terdapat sebanyak 158 kasus korupsi yang
menimpa kepala daerah yang terdiri atas gubernur, bupati, dan wali kota.
Sementara dalam periode 2008-2011, sedikitnya terdapat 42 anggota DPR terseret
kasus korupsi (Republika, 5/12/2011).
Rakyat merasa sayang bila APBD dan
APBN selalu defisit, namun kesejahteraan rakyat tidak terasakan oleh rakyat di
daerah. Maka bisa ditebak bahwa pasti ada penyimpangan dalam pelaksanaan
otonomi daerah yang sedang berjalan. Sebagai bukti visi, misi dan program
otonomi daerah tersebut tidak optimal. Berdasarkan data Kementrian Dalam negeri
yang menunjukkan bahwa 158 kasus korupsi kepala daerah. Sungguh suatu ironi
pembangunan di negeri katulistiwa ini.
Otonomi yang digadang-gadang sebagai
solusi kesejahteraan rakyat di daerah sebaliknya menjadi buah simala kama yang
menelan korban kader-kader terbaik rakyat di daerah. Menjerat kepala daerah
sebagai kader terbaik di daerah terjerat kasus korupsi yang sangat menyedihkan
dan memprihatinkan.
Hal ini membawa kerugian yang besar
bagi daerah. Satu sisi mekanisme pemilihan kepala daerah yang demokratis telah
mengantarkan kader terbaik daerah tampil mempimpin daerahnya sendiri dengan
harapan kedekatan psikologis bisa membangunkan semakin reformasi di daerah bisa
lebih sejahtera. Namun sebaliknya menyebabkan moralitas dan mentalitas aparatur
di daerah mudah tergiur dengan aliran dana pusat kepada daerah yang begitu
besar. Sementara kemampuan profesionalitas pengelolaan anggaran belum
mendapatkan pelatihan sumber daya yang memadai, sehingga banyak penyimpangan
yang terjadi.
Untuk meningkatkan kemampuan
aparatur pemerintah daerah ini maka suatu langka sistematis harus di ambil.
Upaya-upaya meningkatkan syarat pendidikan dan pengelaman berorganisasi ataupun
peningkatan frekuensi latihan,kursus,dan sebagainya,yang berkaitan dengan
bidang tugas yang menjadi tanggungjawabnya masing-masing perlu di tingkatkan.
Beberapa hal yang perlu dikemukakan
yang menjadi persoalan bagi DPRD yaitu:
Dengan pola rekrutmen anggota DPRD
yang lebih menekankan kepada aspek politis, maka ditemui anggota DPRD yang
rendah kualitasnya baik dari segi pengetahuan maupun pengalamannya.
Ada kecendrungan jadi anggota DPRD
sebagai satu-satunya lapangan pekerjaan bukan pengabdian sehingga lebih
mementingkan imbalan yang bersifat material-finansial.
Kurang ada kemauan untuk belajar
bagi peningkatan kapasitas pribadi, sehingga gagasan, pendapat ataupun
pandangan hanya didasarkan kepada faktor subjektifitas.
Penguasaan yang minim tentang
kedudukan, hak dan kewajiban sebagai anggota DPRD, sehingga sering
implementasinya menempatkan diri sebagai penguasa bukan wakil rakyat.
Guna mendapatkan anggota DPRD yang
berkualitas, maka hendaknya dalam persyaratan menjadi anggota DPRD ditentukan
dasar pendidikan minimal yang sesuai dengan tingkat rata-rata pendidikan
masyarakat.
Perlu pemahaman bagi anggota DPRD
bahwa jabatan sebagai anggota DPRD bukan merupakan pekerjaan semata tetapi
adalah jabatan kehormatan yang tidak bergantung kepada besarnya upah/gaji yang
diterima.
Adanya kewajiban bagi setiap anggota
DPRD untuk mendapatkan pembekalan dan pendalaman terhadap hal-hal yang
menyangkut legislasi, anggaran dan pengawasan. Pembekalan tersebut hendaknya
dilakukan oleh institusi pemerintah atau institusi yang profesional yang telah
mendapatkan akreditasi dari pemerintah.
Penetapan Belanja DPRD sebaiknya
proporsional dengan pendapatan daerah serta dalam rangka menunaikan fungsi
serta tanggungjawab sebagai wakil dan penyalur aspirasi dari rakyat.
Otonomi daerah terlaksana dengan baik
bukan hanya dengan tersediannya undang-undang dan peraturan, tetapi sangat
tergantung pada sumber daya manusia yang melaksanakannya berupa pemahamannya,
kemauannya dan kemampuannya.
2.2.4.2.
Aparatur pemerintah daerah
Salah satu atribut penting yang
menandai suatu daerah otonom adalah di miliki aparatur pemerintah daerah
tersendiri yang terpisah dengan aparatur pemerintah pusat yaang mampu
menyelemggarakan urusan-urusan rumah tangganya sendiri
Sebagai unsur pelaksana aparatur
pemerintah daerah menduduki peranan yang sangat vital dalam keseluruhan prose
penyelenggaraan otonomi daerah. Oleh karena itu tidak berlebihan bila di
katakan bahwa keberhasilan penyelenggaraan otonomi daerah sangat bergantung
kepada kemampuan aparaturnya.
Dalam kenyataan tuntutan akan
kualitas yang memadai belum sepenuhnya terpenuhi sehingga akan menghambat
proses penyelenggaraan otonomi daerah karena aparatur yang akan bersentuhan
langsung dengan tugas yang akan dilaksanakan,sehingga penyelenggaraan otonomi
daerah belum sesuai dengan yang di harapkan.
Masih rendahnya profesionalitas
birokrasi, disebabkan antara lain pola rekruitmen yang belum sempurna
(menyangkut perencanaan kebutuhan dan seleksi).
Pola pembinaan karir yang belum
mempunyai aturan yang jelas dan pasti, sehingga mempengaruhi terhadap semangat
dan budaya kerja birokrasi.
Penempatan pada suatu jabatan banyak
dipengaruhi oleh pertimbangan like and dislike tidak the right man on the right
place, bahkan tidak didasarkan kepada kompetensi tetapi kepada
kedekatan dan bukan kepada pencapaian tujuan organisasi, tetapi
kepentingan kekuasaan.
Masih berpengaruhnya kekuatan
politik pada birokrasi daerah, sehingga loyalitas aparatur pemerintah cenderung
lebih kuat kepada kekuatan politik dari pada kepentingan masyarakat dan
menjalankan tugas pemerintahan.
Paradigma birokrasi yang masih belum
banyak berubah seperti merasa sebagai penguasa tidak sebagai pelayan, mengukur
sesuatu pekerjaan hanya untuk kepentingan sesaat, ingin mencari kelemahan
aturan untuk kepentingan diri sendiri tidak berusaha menyempurnakan aturan,
lebih mau bekerja sendiri dari pada bekerja secara TIM dan tidak mengembangkan
inisiatif, inovatif dan kreasi,
Untuk meningkatkan kemampuan
aparatur pemerintah daerah maka suatu langkah sistematis perlu di ambil.
Upaya-upaya peningkatan syarat pendidikan dan pengelaman berorganisasi ataupun
peningkatan frekuensi latihan,kursus dan sebagainya yang berkaitan dengan
bidang tugas yang menjadi tanggung jawab masing-masing perlu di tingkatkan.
Pola rekrutmen telah membaik khusus perencanaan pengadaan dan seleksi. Namun
masih diperlukan penyempurnaan tentang perencanaan yang diarahkan kepada
kebutuhan (jumlah dan kualitas) jangka panjang.
Diperlukan pembinaan aparatur yang
profesional tidak hanya melalui pendidikan atau latihan, tetapi memberi
kesempatan utama mendapat jabatan atau pekerjaan kepada aparat yang telah
memiliki profesi dibidang tugas tertentu.
Dalam menempatkan seseorang pada
jabatan harus dipertimbangkan betul tentang profesinya dan melalui suatu
seleksi (psiko, kesehatan dan kompetensi). Tes kompetensi tersebut, jika
dimungkinkan oleh lembaga yang ahli dan independen.
Harus ada ketentuan yang tegas,
bahwa politik tidak mencampuri penentuan penempatan untuk jabatan-jabatan
struktural.
Pola Reward and Punishment
ditegakkan secara adil dan profesional, sehingga tidak terkesan sama rata
atau diskriminatif.
Pola pembinaan karir para aparatur
hendaknya ditetapkan secara jelas dengan suatu peraturan perundangan sehingga
akan menjadi pedoman dalam pembinaan aparatur di daerah.
22.4.3. Masyarakat
Masyarakat menjadi salah satu faktor
penting bagi setiap kebijakan yang diberlakukan, karena masyarakat sesungguhnya
adalah pelaku utama, yang langsung “bersentuhan” atau berkepentingan dengan
kebijakan tersebut. Oleh karena itu, sangat naif jika kita menghendaki suatu
kebijakan berhasil tanpa melibatkan masyarakat.
Persoalannya, hanya, sampai seberapa
jauh kita dapat dan perlu menyertakan masyarakat dalam suatu kebijakan serta
bagaimana membangun partisipasi aktif dari suatu masyarakat yang sedang dilanda
krisis multi-dimensi, seperti masyarakat kita dewasa ini?
Secara umum, kita dapat mengatakan
bahwa peran-serta masyarakat secara nyata dalam proses implementasi Otonomi
Daerah berlum begitu menonjol. Kalau pun ada, yang terjadi bukanlah untuk
menunjang kelancaran kebijakan Otonomi Daerah. Peran-serta masyarakat malah
membuat kebijakan tersebut kerap dituding sebagai biang keladi terjadinya
konflik – horizontal – di daerah. Mengapa?
Ada beberapa hal yang perlu kita
kemukakan di sini berkaitan dengan partisipasi masyarakat dalam proses
kebijakan publik. Pertama, apakah suatu UU yang kita terapkan menyentuh
langsung kepentingan rakyat banyak atau tidak? Dengan kata lain, apakah UU
dimaksud menguntungkan bagi rakyat atau tidak?
Banyak masyarakat yang apatis, acuh
dan bahkan menentang suatu UU, seperti aksi buruh yang menentang UU Perburuhan
dan aksi penentangan terhadap UU Lalu-Lintas Jalan Raya beberapa waktu lalu.
Bila dikaji secara mendalam, semua penentangan masyarakat dimaksud dipicu oleh
ketidak-berpihakan UU tersebut kepada masyarakat dan cenderung untuk merugikan
mereka.
Kedua, kemungkinan kebijakan Otonomi
Daerah, UU atau aturan pelaksanaaanya belum sampai kepada masyarakat dan
kebijakan itu baru sebagian yang dipahami oleh para pejabat dan elite politik
daerah.
Karena terpenggalnya komunikasi
seperti itu, maka dapat dipahami bila Otonomi Daerah dalam praktiknya di
lapangan malah menimbulkan permasalahan. Kebijakan yang dipahami secara
sepotong-sepotong itu cenderung melahirkan “pengaturan” yang aneh pula.
Contohnya, masyarakat dewasa ini di Indramayu, Jawa Barat, sudah mengadakan
rapat-rapat “persiapan” lebaran yang menurut kabarnya akan melarang setiap
kendaraan yang melalui jalur alternatif di wilayahnya.
Apakah larangan itu akan dikaitkan
dengan sejumlah pungutan sebagai solusi agar kawasan tersebut dapat dilalui
bus-bus besar, sampai sejauh ini kita belum tahu persis keputusan yang akan
mereka ambil.
Jauh sebelum masyarakat Indramayu
melakukan langkah itu, nelayan di Masalembo, Jawa Timur, telah membuat aturan
bahwa nelayan daerah lain tidak boleh menangkap ikan di kawasan itu. Kapal
nelayan yang membandel, secara beramai-ramai, akan disita.
Kapal tangkapan itu selanjutnya akan
dibakar, atau dikembalikan kepada pemiliknya dengan uang tebusan dengan jumlah
tertentu. Selain itu, berbagai macam aturan lain juga dibuat masyarakat
lainnya, yang kerap memancing munculnya konflik.
Ketiga, belum ada kesadaran kita
untuk melibatkan peran-serta aktif masyarakat secara nyata. Yang terjadi adalah
bahwa masyarakat sering kita pergunakan hanya sebagai pelengkap, kalau tidak
kita sebut sebagai pelengkap penderita.
Oleh karena itu, kita pun tidak
begitu heran ketika kemudian terjadi berbagai kesenjangan di dalam masyarakat.
Akibatnya, kita pun tidak perlu heran bila “kebijakan” atau pandangan antara
elite politik dan pejabat daerah sering tidak “nyambung” dengan keinginan
masyarakat. Contohnya, meskipun daerah mengeluarkan suatu Peraturan Daerah,
belum tentu peraturan itu berjalan efektif, karena visi dan misi antara yang
memerintah dan yang diperintah belum sama. Pertanyaannya kemudian adalah
bagaimana mungkin masyarakat dapat berperan-serta aktif dalam proses kebijakan
Otonomi Daerah, sementara ia tidak mengerti mengenai apa yang dikehendaki
melalui pembentukan kebijakan tersebut. Dampaknya adalah, antara lain,
bongkar-pasang Peraturan Daerah sepertinya sudah menjadi hal yang biasa.
- Belum dipahami oleh masyarakat atau pun pemuka
masyarakat bahwa otonomi daerah itu adalah juga merupakan kewajiban dan
tanggung jawab masyarakat.
- Masih sedikit diberikan/diserahkan kepada masyarakat
untuk mengelola kebutuhannya, masih diciptakan seolah-olah masyarakat
tergantung kepada pemerintah.
- Belum dilakukannya perkuatan terhadap lembaga-lembaga
masyarakat yang berorientasi kepada ekonomi dan kesejahteraan, yang
diperkuat adalah yang berorientasi kepada politik dan kekuasaan.
Lantas, bagaimana caranya agar
masyarakat dapat berperan-serta secara aktif dalam menyumbangkan pikiran dan
tenaganya berkaitan dengan implementasi Otonomi Daerah?
1
Pemberian pemahaman yang terus menerus mengenai hakikat dan tujuan Otonomi
daerah kepada pemuka masyarakat, tidak hanya berbentuk penyuluhan yang formil
tetapi juga non formil, termasuk membuat kebijakan yang lebih memberi pemahaman
implementatif tentang otonomi daerah di tingkat masyarakat.
2
Memperbesar keikutsertaan masyarakat dalam pembuatan kebijakan maupun
usaha-usaha peningkatan kesejahteraan (ekonomi dan sosial).
3
Memperkuat lembaga-lembaga masyarakat dari segi manajemen dan keuangan diikuti
dengan pembinaan serta pengawasan yang terus menerus.
4
Mempermudah dan memfasilitasi masyarakat untuk menjalankan kegiatan dan
usaha-usaha yang produktif –ekonomis.
5
Menggiatkan pendidikan keterampilan dan alih teknologi untuk masyarakat.
Ada beberapa pendekatan yang dapat
diketengahkan untuk membangun partisipasi aktif masyarakat, yaitu: Pertama,
aturan atau perundangan yang kita terapkan harus menyentuh dan berpihak pada
kepentingan masyarakat. Kita kita bisa berharap banyak bahwa masyarakat akan
mau berperan-serta aktif, sementara aturan yang ada justru cenderung
memberatkan mereka. Bila kebijakan Otonomi daerah yang diberlakukan dewasa ini
belum mampu meningkatkan partisipasi aktif masyarakat, misalnya, hal ini
boleh-jadi karena UU tersebut belum menyentuh kepentingan mereka.
Dengan keterlibatan secara aktif
masyarakat dalam UU yang kita bentuk, tanpa kita ajak pun, mereka secara
otomatis akan berpartisipasi aktif. Hanya, sayangnya, dan itu yang sering
terjadi, UU atau aturan yang kita buat kerap bukan untuk kepentingan
masyarakat.
Kedua, perlu publikasi yang luas dan
mendalam atas setiap kebijakan yang diberlakukan. Yang kita maksudkan publikasi
disini adalah penjelasan atau sosialisasi kebijakan dimaksud kepada masyarakat.
Selama ini yang sering kita pantau dan tangkap, sosialisasi kebijakan hanya
diberikan kepada para elite politik atau pejabat tertentu, dalam jumlah yang
terbatas pula, tanpa melibatkan secara aktif peran-serta masyarakat. Padahal
kita tahu, kebijakan itu adalah untuk masyarakat dan aturan tersebut dikenakan
kepada masyarakat. Sebab itu, sangat ironis jika mereka yang menjadi obyek
suatu kebijakan tidak mengetahui apa yang harus dilakukan.
Kita sebut publikasi yang luas dan
mendalam artinya adalah memberikan penjelasan kepada masyarakat dengan bahasa
masyarakat, yang jelas dan mudah dimengerti, karena masyarakat kita sangat
majemuk, dengan tingkat pendidikan dan penalaran yang beragam pula. Sangat
tidak masuk akal bila kita menjelaskan suatu kebijakan kepada mereka dengan
bahasa ilmiah, politik, atau pun bahasa lain yang sulit dimengerti oleh “rakyat
banyak”. Bila bahasa “canggih” atau yang tidak memasyarakat seperti itu yang
kita pergunakan, hampir pasti bahwa penjelasan yang disampaikan tidak akan
sampai atau menyentuh hati mereka.
Ketiga, kita juga perlu memilih dan
mempergunakan media yang tepat guna. Artinya, media yang dikenal dan sering
bersentuhan dengan masyarakat serta menggunakan bahasa rakyat akan jauh lebih
efektif daripada media lainnya. Ia dapat berupa tabloid, majalah, surat kabar,
televisi, dan bahkan para ulama dan tokoh agama dalam masyarakat.
Dengan cara atau pendekatan seperti
itu, kita yakin, pesan yang hendak kita sampaikan ke tengah-tengah masyarakat
akan sampai dengan lebih baik. Media yang belum begitu banyak dilakukan dalam
rangka sosialisasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah dewasa ini,
misalnya, adalah dakwah, khotbah dan “ruang-ruang” pengajian. Padahal, media
ini adalah merupakan salah satu alternatif media masyarakat yang dapat
dipergunakan untuk memperkenalkan otonomi daerah secara lebih luas dan lebih
efektif.
Lewat dakwah, pesan otonomi daerah
akan lebih mengena, karena kesan yang ditangkap bukan menggurui, tetapi lebih
cenderung mengajak dan mengajak untuk berbuat secara konkrit untuk kelancaran
dan keberhasilan implementasi otonomi daerah. Melalui cara ini, umat diharapkan
akan berpartisipasi secara aktif bersama umat beragama lainnya.
Jadi, bila peran-serta aktif masyarakat
dalam implementasi otonomi daerah sekarang belum terlihat, bukan berarti bahwa
mereka tidak perduli dan tidak menghendaki adanya kebijakan tersebut. Tetapi,
ada beberapa hal yang kurang kita perhatikan atau kita lupakan belakangan ini.
Harapan kita, lewat apa yang kita ketengahkan di atas sebagai “urun rembug”
untuk pencapaian tujuannya, di waktu mendatang, otonomi daerah akan dapat
diterima oleh masyarakat secara baik dan benar. Dengan demikian, partisipasi
aktif masyarakat untuk kelancaran dan keberhasilan implementasi otonomi daerah
itu pun tidak perlu lagi diragukan.
2.2.5
Korupsi di Daerah
Fenomena lain yang sejak lama
menjadi kekhawatiran banyak kalangan berkaitan dengan implementasi otonomi
daerah adalah bergesernya praktik korupsi dari pusat ke daerah. Sinyalemen ini
menjadi semakin beralasan ketika terbukti bahwa banyak pejabat publik yang
masih mempunyai kebiasaan menghambur-hamburkan uang rakyat untuk piknik ke luar
negeri dengan alasan studi banding. Juga, mulai terdengar bagaimana anggota
legislatif mulai menggunakan kekuasaannya atas eksekutif untuk menyetujui
anggaran rutin DPRD yang jauh lebih besar dari pada sebelumnya. Belum lama
diberitakan di Kompas (4/9) bagaimana legislatif Kota Yogya membagi dana 700
juta untuk 40 anggotanya atau 17,5 juta per orang dengan alasan menutup biaya
operasional dan kegiatan kesekretariatan. Mengapa harus ada bagi-bagi sisa
anggaran? Tidakkah jelas aturannya bahwa sisa anggaran seharusnya tidak
dihabiskan dengan acara bagi-bagi, melainkan harus disetorkan kembali ke Kas
Daerah? Dipandang dari kacamata apapun perilaku pejabat publik yang cenderung
menyukai menerima uang yang bukan haknya adalah tidak etis dan tidak bermoral,
terlebih jika hal itu dilakukan dengan sangat terbuka.
Sumber praktik korupsi lain yang
masih berlangsung terjadi pada proses pengadaan barang-barang dan jasa daerah (procurement).
Seringkali terjadi harga sebuah item barang dianggarkan jauh lebih besar dari
harga pasar. Kolusi antara bagian pengadaan dan rekanan sudah menjadi hal yang
jamak. Pemberian fasilitas yang berlebihan kepada pejabat daerah juga merupakan
bukti ketidakarifan pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah. Hibah
dari pihak ketiga kepada pejabat daerah sudah menjadi hal biasa yang tidak
pernah diributkan dari dulu. Kalau dicermati dan dinalar, berapa kenaikan
kekayaan pejabat daerah setelah mereka menjabat posisi tertentu? Seberapa
drastis perubahan gaya hidup para pejabat publik itu?
Berikut ini beberapa modus korupsi
di daerah:
- Korupsi Pengadaan Barang
Modus :
a.
Penggelembungan (mark up) nilai barang dan jasa dari harga pasar.
b. Kolusi dengan kontraktor dalam
proses tender.
- Penghapusan barang inventaris dan aset negara (tanah)
Modus :
a. Memboyong inventaris kantor untuk kepentingan pribadi.
b. Menjual inventaris kantor untuk
kepentingan pribadi.
- Pungli penerimaan pegawai, pembayaran gaji, keniakan
pangkat, pengurusan pensiun dan sebagainya.
Modus : Memungut biaya tambahan di
luar ketentuan resmi.
- Pemotongan uang bantuan sosial dan subsidi (sekolah,
rumah ibadah, panti asuhan dan jompo)
Modus :
a. Pemotongan dana
bantuan sosial
b. Biasanya dilakukan secara
bertingkat (setiap meja).
5. Bantuan fiktif
Modus : Membuat surat permohonan
fiktif seolah-olah ada bantuan dari
pemerintah ke pihak luar.
6. Penyelewengan dana proyek
Modus : a. Mengambil dana proyek
pemerintah di luar ketentuan resmi.
b. Memotong dana proyek tanpa
sepengtahuan orang lain.
7. Proyek fiktif fisik
Modus : Dana dialokasikan dalam
laporan resmi, tetapi secara fisik proyek itu
nihil.
8. Manipulasi hasil penerimaan
penjualan, penerimaan pajak, retribusi dan iuran.
Modus : a. Jumlah riil penerimaan
penjualan, pajak tidak dilaporkan.
b. Penetapan target penerimaan
2.2.6 Adanya potensi munculnya
konflik antar daerah
Ada gejala cukup kuat dalam
pelaksanaan otonomi daerah,yaitu konflik horizontal yang terjadi antara
pemerintah provinsi dengan pemerntah kabupaten /kota,sebagai akibat dari
penekanan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang menekankan bahwa tidak ada
hubungan hierarkhis antara pemerintah provinsi dengan pemerintah
kabupaten/kota,sehingga pemerintah kabupaten /kota menganggap kedudukannya sama
dan tidak ta’at kepada pemerintah provinsi.Ada arogansi pemerintah kabupaten
/kota,karena tidak ada sanksi apabila ada pelanggaran dari pemerintah kabupaten
/kota.
Dengan pelaksanaan otonomi daerah
muncul gejala etno-sentrisme atau fenomena primordial kedaerahan semakin
kuat.Indikasi etno-sentrisme ini terlihat dalam beberapa kebijakan di daearah
yang menyangkut pemekaran daerah,pemilihan kepala daerah,rekruitmen birokrasi
lokal dan pembuatan kebijakan lainnya.
Selain itu, ancaman disintegrasi
juga dapat memicu sebuah konflik. Paham pelimpahan wewenang yang luas kepada
daerah merupakan politik belah bambu yang telah lama dipupuk sejak zaman
penjajahan. Otonomi daerah telah mengkotak-kotakan wilayah menjadi daerah basah
dan daerah kering. Pengkavlingan ini semakin mencuatkan ketimpangan pembangunan
antara daerah kaya dan daerah miskin. Adanya potensi sumber daya alam di suatu
wilayah, juga rawan menimbulkan perebutan dalam menentukan batas wilayah
masing-masing. Konflik horizontal sangat mudah tersulut. Di era otonomi darah
tuntutan pemekaran wilayah juga semakin kencang dimana-mana. Pemekaran ini
telah menjadikan NKRI terkerat-kerat menjadi wilayah yang berkeping-keping.
Satu provinsi pecah menjadi dua-tiga provinsi, satu kabupaten pecah menjadi
dua-tiga kabupaten, dan seterusnya. Semakin berkeping-keping NKRI semakin mudah
separatisme dan perpecahan terjadi. Dari sinilah bahaya disintegrasi bangsa
sangat mungkin terjadi, bahkan peluangnya semakin besar karena melalui otonomi
daerah campur tangan asing semakin mudah menelusup hingga ke desa-desa.
Melalui otonomi daerah, bantuan-bantuan keuangan bisa langsung menerobos ke
kampung-kampung.
Sebenarnya pemberian otonomi dan
desentralisasi politik pada daerah tidak otomatis menjadi solusi untuk
mempererat integrasi nasional. Bahkan sebaliknya memberi ruang bagi tumbuhnya
semangat kedaerahan yang berlebihan. Hal ini terjadi karena pola hubungan antar
etnis di Indonesia selama ini tidak dibangun atas dasar pemahaman yang mendalam
dan komprehensif mengenai pemaknaan terhadap karakteristik masingmasing etnis.
Yang mengemuka justru pola-pola stereotip yang mengarah pada prasangka satu
sama lain. Tidak ada mekanisme yang dapat mempersatukan etnis yang satu dengan
etnis yang lain secara alamiah, bahkan mekanisme pasar sekaligus didasarkan
atas etnisitas. Misalnya di daerah Nusa Tenggara Timur, pembagian kerja antara
pedagang sayur dengan pedagang daging didasarkan atas etnisitasnya.
Di sisi lain, politik daerah yang
dikembangkan pada era transisi ini belum menempatkan daerah sebagai ruang
politik tetapi sebagai ruang kultural. Akibatnya, proses politik dan relasi
kekuasaan di daerah pun didasarkan pada pola-pola hubungan primordial.
Keinginan untuk dipimpin oleh putra daerah merupakan kewajaran dalam ruang
kultural, tapi tidak dalam ruang politik karena ruang politik mensyaratkan
persamaan hak-hak warga negara di mana pun ia berdomisili.
Pemaknaan otonomi secara kultural
memandang politik lokal sebagai kesatuan nilai, kultur, kustom, adat
istiadat dan bukan sebagai konsep politik. Perspektif ini juga mengakui
kemajemukan masyarakat namun dalam arti sosio-kultural, di mana setiap
masyarakat dan lokalitas adalah unik sehingga setiap masyarakat dan lokalitas
memiliki hak-hak sosial, ekonomi, budaya, dan identitas diri yang berbeda
dengan identitas nasional. Pemahaman inilah yang kemudian memunculkan berbagai
kebijakan daerah yang bernuansa etnisitas. Sedikit banyak karakteristik
masyarakat Indonesia yang pluralistik dan terfragmentasi, turut mempengaruhi
tumbuh dan berkembangnya etnonasionalisme.
Pola hubungan antar etnis dilakukan
dalam proses yang linear tanpa adanya potensi bagi terjadinya cross-cutting
afiliation. Akibatnya, tidak ada ruang bagi bertemunya berbagai etnis
secara sosial. Sebagai misal, seorang anak yang dibesarkan dalam lingkungan
Muslim, pasti akan bersekolah di pesantren atau sekolah yang berlatar agama
(Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Alliyah, dsb), kemudian menempuh pendidikan
tinggi di perguruan tinggi Islam, dan secara sosial kemudian bergabung dengan
organisasi-organisasi bernuansa Islami, seperti HMI, dll. Secara politik,
berlakunya politik aliran menyebabkan sudah dapat dipastikan bahwa ia akan
memilih partai Islam. Dengan demikian, jelaslah bahwa pola interaksi antar
etnis menjadi sulit dilakukan karena tidak ada ruang baginya untuk mengenal
etnis lain, apalagi memahami etnis lain di luar stereotip yang selama ini
mengemuka. Maka yang kemudian timbul dan menguat adalah identitas etnisnya dan
bukan identitas kebangsaan yang inheren dalam nasionalisme.
2.3
Penyelesaian permasalahan otonomi daerah di Indonesia
Pada intinya, masalah – masalah
tersebut seterusnya akan menjadi persoalan tersendiri, terlepas dari
keberhasilan implementasi otonomi daerah. Pilihan kebijakan yang tidak populer
melalui intensifikasi pajak dan perilaku koruptif pejabat daerah sebenarnya
sudah ada sejak lama dan akan terus berlangsung. Jika kini keduanya baru muncul
dipermukaan sekarang, tidak lain karena momentum otonomi daerah memang
memungkinkan untuk itu. Otonomi telah menciptakan kesempatan untuk
mengeksploitasi potensi daerah dan sekaligus memberi peluang bagi para pahlawan
baru menganggap dirinya telah berjasa di era reformasi untuk bertindak semau
gue.
Untuk menyiasati beratnya beban
anggaran, pemerintah daerah semestinya bisa menempuh jalan alternatif, selain intensifikasi
pungutan yang cenderung membebani rakyat dan menjadi disinsentif bagi
perekonomian daerah, yaitu (1) efisiensi anggaran, dan (2) revitalisasi
perusahaan daerah. Saya sepenuhnya yakin bahwa banyak pemerintah daerah
mengetahui alternatif ini. Akan tetapi, jika keduanya bukan menjadi prioritas
pilihan kebijakan maka pemerintah pasti punya alasan lain. Dugaan saya adalah
bahwa pemerintah daerah itu malas! Pemerintah tidak mempunyai keinginan kuat (strong
will) untuk melakukan efisiensi anggaran karena upaya ini tidak gampang. Di
samping itu, ada keengganan (inertia) untuk berubah dari perilaku boros
menjadi hemat.
Upaya revitalisasi perusahaan daerah
pun kurang mendapatkan porsi yang memadai karena kurangnya sifat kewirausahaan
pemerintah. Sudah menjadi hakekatnya bahwa pemerintah cenderung melakukan
kegiatan atas dasar kekuatan paksa hukum, dan tidak berdasarkan prinsip-prinsip
pasar, sehingga ketika dihadapkan pada situasi yang bermuatan bisnis,
pemerintah tidak bisa menjalankannya dengan baik. Salah satu cara untuk
mengatasi hal ini pemerintah daerah bisa menempuh jalan dengan menyerahkan
pengelolaan perusahaan daerah kepada swasta melalui privatisasi.
Dalam kaitannya dengan persoalan
korupsi, keterlibatan masyarakat dalam pengawasan terhadap pemerintah daerah
juga perlu diupayakan. Saya punya hipotesis bahwa pemerintah daerah atau
pejabat publik lainnya, termasuk legislatif, pada dasarnya kurang bisa
dipercaya, lebih-lebih untuk urusan yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan
daerah. Tidak pernah sekalipun terdengar ada institusi pemerintahan, termasuk
di daerah yang terbebas dari penyalahgunaan uang rakyat. Masyarakat harus turut
aktif dalam menangkal perilaku korupsi di kalangan pejabat publik, yang
jumlahnya hanya segelintir dibandingkan dengan jumlah rakyat pembayar pajak
yang diwakilinya. Rakyat boleh menarik mandat jika wakil rakyat justru
bertindak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum dan mengkhianati nurani
keadilan masyarakat. Begitu juga, akhirnya seorang kepala daerah atau pejabat publik
lain bisa diminta turun jika dalam melaksanakan tugasnya terbukti melakukan
pelanggaran serius, yaitu korupsi dan menerima suap atawa hibah dalam kaitan
jabatan yang dipangkunya.
Pemeritah juga seharusnya merevisi
UU yang dipandang dapat menimbulkan masalah baru di bawah ini penulis merangkum
solusi untuk keluar dari masalah Otonomi Daerah tanpa harus mengembalikan
kepada Sentralisasi. Jika pemerintah dan masyarakat bersinergi mengatasi
masalah tersebut. Pasti kesejahteraan masyarakat segera terwujud.
- Membuat masterplan pembangunan nasional untuk membuat
sinergi Pembangunan di daerah. Agar menjadi landasan pembangunan di daerah
dan membuat pemerataan pembangunan antar daerah.
- Memperkuat peranan daerah untuk meningkatkan rasa
nasionalisme dengan mengadakan kegiatan menanaman nasionalisme seperti
kewajiban mengibarkan bendera merah putih.
- Melakukan pembatasan anggaran kampanye karena
menurut penelitian korupsi yang dilakukan kepala daerah akibat pemilihan
umum berbiaya tinggi membuat kepala daerah melakukan korupsi.
- Melakukan pengawasan Perda agar sinergi dan tidak
menyimpang dengan peraturan diatasnya yang lebih tinggi.
- Melarang anggota keluarga kepala daerah untuk maju
dalam pemilihan daerah untuk mencegah pembentukan dinasti politik.
- Meningkatkan kontrol terhadap pembangunan di daerah
dengan memilih mendagri yang berkapabilitas untuk mengawasi pembangunan di
daerah.
- Melaksanakan Good Governence dengan memangkas birokrasi
(reformasi birokrasi), mengadakan pelayanan satu pintu untuk masyarakat.
Melakukan efisiensi anggaran.
- Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah dari sektor SDA dan
Pajak serta mencari dari sektor lain seperti jasa dan pariwisata digunakan
untuk kesejahteraan masyarakat.
BAB
III
PENUTUPAN
3.1. Kesimpulan
Otonomi daerah adalah suatu keadaan
yang memungkinkan daerah dapat mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang
dimilikinya secara optimal.Dimana untuk mewujudkan keadaan tersebut,berlaku
proposisi bahwa pada dasarnya segala persoalan sepatutnya diserahkan
kepada daerah untuk mengidentifikasikan,merumuskan,dan memecahkannya, kecuali
untuk persoalan-persoalan yang memang tidak mungkin diselesaikan oleh daerah
itu sendiri dalam perspektif keutuhan negara- bangsa. Dalam Sidang Tahunan
MPR tahun 2000 telah pula ditetapkan Ketetapan MPR No.IV/MPR/2000
tentang Kebijakan dalam Penyelenggaran Otonomi Daerah yang antara lain
merekomendasikan bahwa prinsip otonomi daerah itu harus dilaksanakan dengan
menekankan pentingnya kemandirian dan keprakarsaan dari daerah-daerah otonom
untuk menyelenggarakan otonomi daerah tanpa harus terlebih dulu menunggu
petunjuk dan pengaturan dari pemerintahan pusat. Bahkan,kebijakan nasional
otonomi daerah ini telah dikukuhkan pula dalam materi perubahan Pasal 18UUD
1945.
Adapun dampak negative dari otonomi
daerah adalah munculnya kesempatan bagi oknum-oknum di tingkat daerah untuk
melakukan berbagai pelanggaran, munculnya pertentangan antara pemerintah daerah
dengan pusat, serta timbulnya kesenjangan antara daerah yang pendapatannya
tinggi dangan daerah yang masih berkembang.Bisa dilihat bahwa masih banyak
permasalahan yang mengiringi berjalannya otonomi daerah di Indonesia.
Permasalahan-permasalahan itu tentu harus dicari penyelesaiannya agar tujuan
awal dari otonomi daerah dapat tercapai.
3.2. Saran
Dari kesimpulan yang dijabarkan
diatas, maka dapat diberikan saran antara lain:
- Pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi
dan efektivitas penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan
hubungan antarsusunan pemerintahan dan antarpemerintah daerah, potensi dan
keanekaragaman daerah.
- Konsep otonomi luas, nyata, dan bertanggungjawab
tetap dijadikan acuan dengan meletakkan pelaksanaan otonomi pada tingkat
daerah yang paling dekat dengan masyarakat.
- Keterlibatan masyarakat dalam pengawasan terhadap
pemerintah daerah juga perlu diupayakan. Kesempatan yang seluas-luasnya
perlu diberikan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dan mengambil
peran. Masyarakat dapat memberikan kritik dan koreksi membangun atas
kebijakan dan tindakan aparat pemerintah yang merugikan masyarakat dalam
pelaksanaan Otonomi Daerah. Karena pada dasarnya Otonomi Daerah ditujukan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat
juga perlu bertindak aktif dan berperan serta dalam rangka menyukseskan
pelaksanaan Otonomi Daerah.
Pihak-pihak yang berkepentingan
dalam pelaksanaan Otonomi Daerah sebaiknya membuang jauh-jauh egonya untuk
kepentingan pribadi ataupun kepentingan kelompoknya dan lebih mengedepankan
kepentingan masyarakat. Pihak-pihak tersebut seharusnya tidak bertindak egois
dan melaksanakan fungsi serta kewajibannya dengan baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Diklat Teknis Penganggaran di
Era Desentralisasi, kerjasama LAN – Depdagri.
Seminar Desentralisasi Pemerintahan
“Inventarisasi Penyerahan Urusan Pemerintahan” Refleksi 10 tahun Otonomi
Daerah, Ditjen Otda – Depdagri.
Marzuki, M. Laica, 2007. “Hakikat
Desentralisasi Dalam Sistem Ketatanegaraan RI – Jurnal Konstitusi Vol. 4 Nomor
1 Maret 2007″, Jakarta : Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi RI.
Siregar, Faris. 2011. Hambatan Pelaksanaan
Otonomi Daerah. Dari
http://catatankuliahpraja.blogspot.com/2011/09/hambatan-pelaksanaan-otonomi-daerah.html,
dikutip pada 27 Maret 2012
Arthur, Muhammad. 2012. Menggugah
Peran Aktif Masyarakat dalam Otonomi Daerah. Dari
http://www.pelita.or.id/baca.php?id=4437, dikutip pada 27 Maret