HUMAS UNTUK
ORGANISASI BISNIS
Organisasi bisnis atau yang bisa juga disebut dengan
organisasi profit (profit
oriented organization) adalah salah satu bentuk organisasi
yang semakin
banyak menggunakan jasa humas dalam kegiatannya sehari-hari.
Terlebih lagi
untuk perusahaan-perusahaan besar dengan jumlah karyawan
ribuan atau
Perusahaan Multi Nasional yang memiliki sejumlah cabang di
luar negeri,
perusahaan-perusahaan semacam itu sekarang ini semakin
menyadari
pentingnya peran humas bagi organisasi.
Mengelola perusahaan bisnis di jaman yang semakin kompleks
seperti
sekarang ini merupakan sebuah tantangan tersendiri. Seperti
yang telah dibahas
di Modul 3, sebuah organisasi merupakan sebuah sistem yang
kompleks dan
rumit dengan segala komponennya. Di jaman yang semakin
moderen ini,
organisasi bisnis dituntut untuk bisa semakin luwes dalam
menyikapi situasi
dan kondisi lingkungan sekitar organisasi yang semakin cepat
berubah. Publik
organisasi bisnis juga semakin lama menjadi semakin kritis,
semakin cerdas,
serta menuntut kinerja organisasi menjadi semakin
profesional. Dalam kondisi
semacam ini, organisasi bisnis juga diharapkan semakin peka
dengan berbagai
macam gejolak yang ada di masyarakat, karena untuk bisa
bertahan
menghadapi persaingan dan perubahan yang terus menerus
terjadi di sekitar
organisasi, organisasi bisnis mau tidak mau harus semakin
bisa beradaptasi
serta menyesuaikan diri dengan segala kondisi tersebut.
Pada kegiatan belajar 2 ini akan dibahas mengenai berbagai
tantangan yang
dihadapi oleh organisasi bisnis serta kegiatan-kegiatan
humas di organisasi
bisnis.
Tantangan Organisasi Bisnis
Agar sebuah perusahaan bisa terus bertahan, salah satu
kemampuan yang
mutlak dimiliki oleh organisasi adalah kemampuan untuk
membaca situasi
yang sedang maupun akan terjadi yang akan berpengaruh
terhadap
kelangsungan hidup organisasi. Dengan kata lain, organisasi
bisnis yang
beroperasi pada masa sekarang ini harus mulai memikirkan
sebuah cara
bagaimana ia bisa meramalkan bukan saja situasi pasar,
melainkan juga
perubahan-perubahan serta gejolak-gejolak lain yang terjadi
di masyarakat,
serta memprediksi bagaimana perubahan tersebut akan
berpengaruh pada
perusahaan.
Kemampuan untuk meramalkan atau memprediksi perubahan yang
terjadi di
masyarakat merupakan sebuah kemampuan untuk memahami isyu
atau trend
yang tengah menggejala. Selain itu perusahaan juga
diharapkan semakin
sensitif didalam menerapkan corporate social responsibility
(tanggung jawab
sosial perusahaan) untuk menghindari hal-hal yang tidak
diinginkan.
1. Isu, Humas, dan Perusahaan
Dalam masyarakat yang terus berubah, manusia dituntut untuk
mampu
beradaptasi serta membiasakan diri dengan perubahan yang
terjadi. Para pakar
ilmu sosial menyatakan bahwa manusia yang hidup sejak abad
20 kedepan
adalah manusia yang paling banyak serta paling sering
mengalami perubahan
sosial jika dibandingan dengan manusia yang hidup pada
abad-abad
sebelumnya. Salah satu pemicunya adalah besarnya penemuan
dibidang
teknologi yang dihasilkan manusia sejak Revolusi Industri.
Sejak saat itu
manusia mengalami berbagai macam perubahan sosial yang
signifikan dalam
hidupnya seperti urbanisasi, depresi ekonomi, dua perang
dunia, revolusi sosial
seperti gerakan feminisme (kesetaraan jender) dan HAM, serta
perkembangan
teknologi komunikasi dan informasi yang semakin cepat.
Masing-masing perubahan sosial ini memunculkan isyu-isyu
sosial serta trend-
trend sosial yang harus diwaspadai. Menurut Grunig dan Hunt
(1984) isyu
adalah, “Topics around which publics are formed.†.
Sementara Heath
dan Nelson (1986) melihatnya sebagai, “A contestable
question of fact,
value, or policy.â€
(dikutip dalam Grunig dan Repper, 1992). Heath (1997)
sendiri berpendapat bahwa isyu merupakan, “Dispute between
parties based
on gaps in facts, values, or policies.†Dari pendapat yang berbeda-beda
tersebut nampaknya ada satu benang merah yang menghubungkan
ketiganya
yaitu bahwa isyu yang dimaksud disini lebih dari sekedar
rumor atau kabar
burung, melainkan lebih pada trend sosial yang tengah
menggejala di
masyarakat.
Steve Mackey (2000) mengakui bahwa isyu sulit untuk
didefinisikan karena
banyak hal bisa disebut sebagai isyu sosial. Ia menyatakan,
“It has to do
with the subtle word of people’s ideas and attitudes.
Ideas and attitudes
which sometimes develop slowly in a society over the years
that they are hard
to notice until their effects bite, possibly in the form of
new laws or government
regulations.†. Dari Mackey kita mendapatkan kata kunci
ideas dan attitudes
atau ide-ide dan sikap manusia terhadap suatu hal. Heath dan
Nelson
sebelumnya mengemukakan kata kunci values (nilai-nilai),
facts (fakta), dan
policies (kebijakan) yang kesemuanya itu masih contestable
(bisa
diperdebatkan lagi). Karenanya, mungkin bisa disimpulkan
bahwa isyu sosial
berkenaan dengan sikap serta berbagai pemikiran yang tumbuh
dan beredar di
masyarakat. Sikap dan pemikiran tersebut berkenaan dengan
hal-hal yang
menyangkut nilai-nilai yang dipercaya masyarakat,
fakta-fakta yang ada, atau
kebijakan-kebijakan yang akan atau tengah dianut di suatu
masyarakat.
Sebagai contoh misalnya saja isyu tentang HAM atau isyu
tentang lingkungan
hidup yang semakin lama semakin dianggap penting oleh
masyarakat. Isyu
tentang HAM yang telah lama beredar berimplikasi pada
semakin ketatnya
peraturan-peraturan pemerintah tentang ketenagakerjaan,
larangan untuk
memperkerjakan tenaga kerja dibawah umur, serta persyaratan
yang harus
dipenuhi perusahaan akan fasilitas dan kondisi kerja yang
memadai dan
manusiawi. Isyu tentang lingkungan hidup menyebabkan banyak
elemen
masyarakat semakin ketat mengawasi kinerja berbagai
perusahaan yang
ditengarai sebagai penyebab utama banyaknya kasus lingkungan
yang
berkaitan dengan pencemaran, konservasi alam, dan kerusakan
habitat alami
mahluk hidup.
Pada masa moderen ini perusahaan tidak bisa lagi bersikap
kurang peka atau
tidak peduli pada isyu-isyu sosial. Dengan semakin kritisnya
masyarakat,
organisasi-organisasi yang kurang menganggap penting isyu
sosial yang tengah
beredar di masyarakat bisa mendapatkan konsekuensi yang amat
pahit. Hal ini
bisa terjadi karena jika sebuah isyu telah mengkristal dan
dianggap oleh
sebagian besar anggota masyarakat sebagai sesuatu yang
memiliki nilai positif
yang harus dipertahankan maka pemerintah biasanya akan
menyikapi hal
tersebut dengan mengeluarkan peraturan atau
perundang-undangan baru
tentang hal itu. Salah satu contohnya adalah Undang-Undang
tentang
Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) yang diteken dimasa
pemerintahan
Megawati. Undang-undang tersebut muncul sebagai bentuk
jawaban
Pemerintah akan isyu kesetaraan jender yang merebak di
masyarakat Indonesia
akhir-akhir ini. Demikian pula Undang-undang Perlindungan
terhadap Anak,
dan lain sebagainya, semua itu bermula dari isyu di
masyarkat yang kemudian
mengkristal.
Mungkin dua contoh diatas kurang ada kaitannya dengan
keberadaan
perusahaan. Kalau begitu coba kita lihat contoh yang lain.
Beberapa waktu
yang lalu, surat kabar ramai memberitakan tentang kasus
pencemaran
lingkungan di Teluk Buyat oleh PT. Newmont. Kasus Newmont tersebut
merupakan salah satu contoh ‘nasib’ yang harus dihadapi
oleh
perusahaan yang kurang sensitif terhadap suatu isyu yang
beredar di
masyarakat. Kita bisa melihat betapa besar harga yang harus
dibayar. Bukan
saja dari aspek finansial, tapi yang lebih penting lagi
citra dan reputasi
perusahaan bisa hancur di mata publiknya. Di negara-negara
maju, salah satu
dampak yang harus ditanggung oleh perusahaan yang tidak
menyikapi isyu
sosial secara tepat adalah merosotnya harga saham mereka di
bursa efek.
Sekarang, apa kaitan antara isyu dan humas? Pada modul 1
telah kita bahas
sedikit bahwa salah satu fungsi humas bagi perusahaan adalah
sebagai pencari
informasi. Pada Modul 3 istilah humas sebagai boundary
spanner perusahaan
telah kita perkenalkan. Dalam kaitannya dengan isyu, tugas
humaslah untuk
mencari informasi, mengidentifikasi isyu-isyu yang beredar
di masyarakat,
menyampaikannya kepada pihak manajemen, serta membuat perencanaan
apa
yang harus dilakukan perusahaan dalam menghadapi isyu
tersebut.
Dalam banyak literatur penanganan isyu secara profesional
oleh perusahaan
kini disebut sebagai penerapan Management Isyu (Issues
Management) yang
manfaatnya mulai banyak dirasakan. Menurut Grunig (1984) dan
Heath (1997)
penanganan isyu bisa dibagi menjadi beberapa tahap
yaitu:
a. Tahap 1: Issue Identification
Mengidentifikasi isyu-isyu apa saja yang tengah beredar di
masyarakat. Baik
yang relevan maupun yang tampaknya tidak relevan dengan
perusahaan.
b. Tahap 2: Issue analysis
Menganalisis isu berdasarkan urgensinya, isu-isu mana saja
yang relevan
dengan perusahaan, serta memperkirakan dalam jangka waktu
berapa lama isu
tersebut akan benar-benar berpengaruh terhadap
perusahaan.
c. Tahap 3: Issue classification
Mengklasifikasi isu berdasarkan bentuk dan jenisnya.
Misalnya yang mana isu
tentang lingkungan, yang mana isu tentang HAM, dan
sebagainya.
d. Tahap 4: Issue prioritization
Membuat daftar prioritas isu, yang mana yang harus ditangani
perusahaan
terlebih dulu, yang mana yang harus ditangani berikutnya,
kapan harus
ditangani, dan sebagainya.
e. Tahap 5: Determine strategy options
Membuat beberapa alternatif pilihan penanganan isu. Pikirkan
baik-baik
pilihan-pilihan tersebut dari berbagai aspek. Diskusikan
dengan pihak
manajemen.
f. Tahap 6: Issue(s) Action Programs
Merencanakan dan melaksanakan penanganan isu yang telah
dipilih pada tahap
lima.
g. Tahap 7: Issue management evaluation
Mengevaluasi langkah-langkah yang telah diambil. Bandingkan
antara hasil
yang didapat dengan hasil yang diinginkan.
2. Humas dan Tanggungjawab sosial Organisasi
Tantangan lain yang harus dihadapi oleh perusahaan pada masa
sekarang ini
adalah bagaimana menyeimbangkan antara mendapatkan
keuntungan yang
besar dan menerapkan tanggung jawab sosialnya. Sebagai
sebuah organisasi
bisnis yang jelas-jelas berorientasikan profit, banyak
perusahaan menyikapi
isyu tentang tanggung jawab sosial ini dengan setengah hati.
Mereka melihat
hal ini sebagai suatu hal yang membebani mereka serta
menghalangi mereka
dalam upayanya untuk mengeruk keuntungan yang
sebesar-besarnya. Banyak
perusahaan juga menganggap isyu tanggung jawab sosial yang
harus diemban
oleh perusahaan sebagai omong kosong belaka, sekedar
retorika yang tidak ada
isinya. Lebih buruk lagi perusahaan melihat hal ini sebagai
upaya pemerintah
untuk lebih menekan mereka atau sebagai hal yang akan
merugikan usaha
mereka.
Isyu tentang Corporate Social Resposibility atau yang
diindonesiakan menjadi
Tanggungjawab Sosial Perusahaan (selanjutnya akan disebut
sebagai TSP) ini
sebenarnya bukanlah isyu yang baru bagi
perusahaan-perusahaan di negara-
negara maju. Hanya saja di Indonesia hal ini memang masih
menjadi sesuatu
yang baru, setidaknya dari segi nama. Walaupun banyak
perusahaan di
Indonesia yang mungkin masih belum familiar dengan konsep
ini, tapi penulis
yakin bahwa telah banyak pula perusahaan nasional yang
menerapkannya,
tanpa menyadari bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah
bagian dari
penerapan tanggungjawab sosial perusahaan.
Konsep tentang TSP ini berawal dengan kajian organisasi
sebagai sebuah
sistem. Seperti yang telah dibahas di Modul 3, sebagai
sebuah sistem organisasi
tidak bisa tidak harus menjalin interaksi yang seimbang dan
saling
menguntungkan dengan lingkungannya. Dengan kata lain
organisasi dan
lingkungan yang ada di sekitarnya merupakan satu bentuk
hubungan yang
saling tergantung, dalam beberapa hal lingkungan tergantung
pada organisasi,
dan begitu pula sebaliknya, sebuah konsep yang oleh Preston
dan Post (1975)
disebut sebagai interpenetrating system (dikutip dalam
Grunig dan Hunt,
1984).
Menurut David C.H Johnston ada beberapa aspek yang menjadi
tanggung
jawab sosial perusahaan karena kehadiran sebuah organisasi
di sebuah
lingkungan tertentu:
1. Dampak Ekonomi. Lapangan pekerjaan baru yang tumbuh
dengan hadirnya
perusahaan di tengah-tengah masyarakat
2. Kualitas Produk. Perusahaan berkewajiban memproduksi
produk yang
berkualitas
3. Hubungan dengan Konsumen. Konsumen berhak atas produk
yang
berkualitas, informasi yang jujur, serta harga yang
pantas
4. Dampak Lingkungan Hidup. Perusahaan harus bertanggung
jawab atas
adanya kemungkinan polusi (baik tanah, udara, dan air)
sebagai akibat dari
hadirnya perusahaan di suatu lingkungan tertentu
5. Konservasi Energi. Perusahaan memiliki kewajiban untuk
menghemat energi
yang dibutukannya untuk beroperasi
6. Hubungan dengan Karyawan. Tanggung jawab perusahaan
terhadap
karyawan adalah (a) kesempatan mendapatkan pekerjaan yang
sama bagi
semua orang, (b) kesempatan untuk mendapatkan kepuasan kerja
selama
bekerja di perusahaan tersebut, dan (c) kesempatan untuk
mendapatkan
jaminan keselamatan kerja
7. Hubungan dengan Komunitas. Perusahaan diwajibkan membantu
perbaikan
kualitas hidup komunitas dimana organisasi tersebut berada
(dikutip dalam
Grunig dan Hunt, 1984).
Daftar diatas adalah sebagian daftar ‘kewajiban’
organisasi terhadap
masyarakat. Humas sebagai pengantara antara organisasi
dengan publiknya
harus senantiasa memastikan bahwa orgnisasi telah
menjalankan kewajiban-
kewajibannya tersebut. Humas harus bisa memberikan
pengertian kepada
perusahaan bahwa mematuhi kewajiban-kewajiban tersebut tidak
akan
berakibat negatif bagi perusahaan. Sebaliknya perusahaan
harus melihat TSP
sebagai sebuah bentuk investasi sosial jangka panjang yang
mungkin tidak bisa
dilihat hasilnya dalam waktu singkat, namun pasti akan
memetik buahnya di
waktu-waktu yang akan datang. Buah yang bisa dipetik
perusahaan dari hasil
menerapkan TSP antara lain adalah keloyalan konsumen
terhadap produk
mereka, keloyalan karyawan dan karenanya mereka akan
termotivasi untuk
juga menghasilkan yang terbaik untuk perusahaan, dukungan
masyarakat
terhadap kehadiran perusahaan, serta tentu saja perusahaan
akan mendapatkan
citra dan reputasi yang baik.
Peranan Humas dalam Bisnis
Setelah kita membahas tentang berbagai tantangan dalam
mengelola
perusahaan pada masa sekarang ini, pada segmen kedua ini
kita akan
membahas peranan humas dalam organisasi bisnis. Peranan
humas dalam
organisasi bisnis sebenarnya hanya merupakan praktik
langsung apa yang telah
dikemukakan dalam Modul 4, yaitu menjalin hubungan serta
membuat,
merencanakan, serta melaksanakan berbagai program untuk
berbagai publik
(seperti hubungan dengan karyawan, komunitas, pemerintah,
konsumen, dan
sebagainya) yang dimiliki oleh perusahaan, baik publik
internal maupun
eksternal. Hanya saja disini kita akan membahas secara lebih
detail peranan
humas dalam menjalin hubungan dengan investor (financial
relations) serta
lobbying.
1. Humas dan Financial Relations
Menjalin hubungan dengan investor merupakan salah satu
kegiatan humas
yang cukup penting. Selain investor atau penenm modal maka
publik lain yang
tergolong sebagai Financial Relations adalah pemilik saham
(shareholders).
Grunig dan Hunt (1984) bahkan mengidentifikasi empat publik lain
yang
tergolong dalam Financial Relations yaitu: (a) current
shareholders, (b)
prospective shareholders (kelompok-kelompok yang dianggap
potensial untuk
menjadi pemegang saham di kemudian hari), (c) the financial
community
seperti bankir, para pialang saham, penasehat investasi,
perusahaan asuransi,
dan sebagainya, serta (d) financial media. Publik-publik ini
termasuk dalam
kategori publik yang menurut Grunig dan Hunt (1984) adalah
“...active and
information seeking.†. Karena publik-publik tersebut
memiliki kepentingan
dari segi finansial, maka mereka tergolong sebagai tipe
publik yang selalu aktif
mengamati segala kegiatan perusahaan serta selalu ingin
mendapatkan
informasi yang terkini tentang kondisi dan kinerja
perusahaan. Dalam hal ini
tugas Humas lah untuk selalu mensuplai mereka dengan
informasi-informasi
penting yang mereka butuhkan.
Beberapa cara untuk menjalin hubungan dengan para investor
dan pemegang
saham yang disampaikan oleh Harris (2000) adalah:
a. Annual Reports (Laporan tahunan)
Laporan tahunan adalah sebuah bentuk laporan keuangan yang
memuat segala
transaksi keuangan dalam setahun. Laporan keuangan semacam
ini memang
dibuat untuk dipublikasikan kepada masyarakat luas serta
dikirimkan kepada
publik-publik tertentu.
Selain berisikan laporan keuangan perusahaan, laporan
tahunan biasanya juga
memuat segala kegiatan perusahaan yang lain selama satu
tahun penuh. Karena
berisi begitu banyak informasi yang tidak saja berkaitan
dengan kondisi
finansial perusahaan, tulisan-tulisan yang berkaitan dengan
kegiatan-kegiatan
perusahaan hendaknya ditulis tetap dengan mengacu pada
prinsip-prinsip
jurnalistik pada umumnya.
Dengan begitu bervariasinya publik yang berkepentingan
terhadap informasi
yang terdapat dalam laporan tahunan perusahaan, maka
biasanya perusahaan
akan menerbitkan laporan keuangan dengan memodifikasi
beberapa isinya
disesuaikan dengan publik yang dituju. Laporan Tahunan untuk
karyawan
misalnya, meski masih menyajikan kinerja keuangan perusahaan
tapi informasi
tersebut tampil dengan lebih singkat dan sederhana,
sementara informasi
tentang kegiata-kegiatan tahunan perusahaan diperbanyak.
Lain lagi laporan
tahunan yang diperuntukkan bagi para pialang saham misalnya,
maka
informasi yang disajikan akan lebih berfokus pada laporan
keuangannya,
dengan menyajikan informasi yang sedetail mungkin.
b. Annual General Meeting
Annual General Meeting adalah pertemuan tahunan para
pemegang saham.
Pada pertemuan semacam ini para pemegang saham berkesempatan
untuk
mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada pihak manajemen
sehubungan
dengan kinerja perusahaan. Selain itu pada kesempatan ini
mereka biasanya
juga akan mengevaluasi peraturan-peraturan yang pada saat
ini diterapkan di
perusahaan serta membuat perubahan jika diperlukan.
Walaupun pertemuan semacam ini biasanya hanya dianggap
sebagai formalitas
belaka, namun ada saat-saat tertentu dimana perusahaan
dituntut untuk mampu
berkomunikasi dengan baik dengan para pemegang saham.
Anjloknya harga
saham perusahaan misalnya, merupakan saat-saat sulit bagi
perusahaan untuk
bisa menjelaskan kondisi yang dihadapi kepada para pemegang
saham. Pada
saat semacam ini Humas diharapkan mendampingi pihak
manajemen
memberikan penjelasan kepada pemegang saham.
2. Humas dan Lobbying
Jika kita mendengar kata lobbying, maka biasanya yang
tergambar di benak
kita adalah sebuah kegiatan yang biasanya dilakukan oleh
para politikus.
Kegiatan melobi kita anggap hanya merupakan kewenangan
mereka yang
berkecimpung di dunia politik saja seperti orang-orang
partai atau pemerintah.
Moloney (1997) mendefinisikan lobbying sebagai,
“...persuasive activity to
change public policy in favour of an organization by groups
of people who are
not directly involved in a political process.†(dikutip dalam Harris, 2000).
Lebih lanjut ia menyatakan kegiatan lobbying meliputi,
“...monitoring
public policy making for a group interest; building a case in
favour of that
interest; and putting it privately with varying degrees of
pressures to public
decision makers for their acceptance and support through
favourable political
intervention.â€
Dari definisi yang dikemukakan Moloney tersebut kita bisa melihat
relevansinya dengan kajian kehumasan yang tengah kita
lakukan ini. Sebuah
perusahaan yang ingin bertahan di masyarakat, seperti yang
sudah dibahas
sbelumnya, harus mewaspadai berbagai isyu yang berkaitan
dengan kehidupan
perusahaan. Ketika isyu sudah mengkristal, biasanya hal itu
akan berimplikasi
pada pembuatan kebijakan publik yang relevan dengan isyu
yang dimaksud.
Hal inilah yang bisa dinegosiasikan perusahaan dengan
kegiatan lobbying.
Dengan lobbying perusahaan berupaya untuk menyampaikan kepentingan-
kepentingan mereka sehubungan dengan akan diberlakukannya
sebuah
peraturan baru atau perundang-undangan.
Sebagai contohnya adalah semakin merebaknya isyu akan
diperluasnya daerah
bebas rokok di tempat-tempat umum di Indonesia. Entah karena
masyarakat
Indonesia semakin sadar hidup sehat atau karena tekanan
internasional, yang
jelas isyu semacam itu jelas akan berpengaruh terhadap
kehidupan banyak
pabrik rokok di Indonesia. Jika isyu tersebut nantinya akan
direalisasikan
dalam bentuk kebijakan publik maka sudah pasti perusahaan
rokok lah yang
menempati posisi yang kurang menguntungkan. Dengan kegiatan
melobi yang
baik, perusahaan rokok bisa menegosiasikan posisi serta
kepentingannya dalam
pembentukan kebijakan publik semacam itu.
Dimanakah kedudukan humas disini? Apakah melakukan lobbying
juga
termasuk salah satu tugas humas? Bisa ya, bisa tidak.
Sebagai fungsi pencari
informasi bagi perusahaan, tugas humas adalah mensuplai pihak
manajemen
dengan informasi-informasi dari dalam dan luar perusahaan
yang akan
mempengaruhi kehidupan perusahaan, termasuk tugas Manajemen
Isyu yang
juga telah kita bicarakan. Dalam kaitannya dengan lobbying
bisa saja humas
tidak perlu menjalankan tugas itu secara langsung karena di
negara-negara
maju perusahaan bahkan bisa menyewa jasa professional
lobbyist atau pelobi
profesional. Disini humas bertugas untuk menjelaskan posisi
dan kepentingan-
kepentingan yang dimiliki perusahaan kepada pelobi profesional
atau kepada
‘orang dalam’ perusahaan yang bisa melakukan tugas
itu.
Kegiatan melobi memerlukan data ‘contact person’ dan
orang
berpengaruh di berbagai bidang yang cukup lengkap serta
harus selalu
diperbarui dari waktu ke waktu. Mereka juga harus bisa
‘membaca’ trend
sosial yang tengah menggejala, koalisi-koalisi yang
terbentuk di masyarakat,
serta momen-momen penting dimana kebijakan publik tengah
dibahas atau
diproses.
Sebagai sebuah profesi, pelobi profesional memiliki beberapa
area spesialisasi
seperti pelobi khusus bidang perdagangan atau lingkungan
hidup. Pada
awalnya profesi pelobi banyak berasal dari para wartawan
senior yang telah
pensiun. Namun sekarang, para pelobi profesional banyak yang
berasal dari
lulusan ilmu komunikasi. Dan sebagai orang yang paham ilmu
komunikasi,
pelobi profesional juga banyak memanfaatkan opini publik
untuk
memperjuangkan kepentingan klienn
0 komentar:
Posting Komentar